Tika Dwi Ariyanti – YOT CA Universitas Indonesia
Pada kesempatan kali ini gue mau share sebuah kisah pengalaman gue pribadi ketika sedang menemani temen yang sedang belanja. Udah agak lama sih kejadiannya, tapi nggak apa-apa kayaknya gue share sekarang. Semoga ada pembelajaran yang bisa kita ambil.
Waktu itu temen gue ngajak untuk pergi ke mall, ajakan itu gue tanggapi dengan kata iya dan anggukan setuju karena pas banget emang ada sesuatu yang harus gue beli. Jadilah gue berdua pergi ke mall untuk belanja.
Begitu sampe di mall,
Gue nanya ke temen gue, “mau beli apa?”
Tanggapan dari temen gue itu bisa dibilang hampir nggak ada karena dia malah nanya balik ke gue, “kalo lo sendiri mau beli apa?”
Akhirnya gue sebutin barang-barang apa aja yang mau gue beli.
Eh terus dia bilang, “gue sih belum tau mau beli apa. Yaudah deh, kita ke tempat yang jual barang-barang yang lo butuhin aja deh. Kali aja nanti sambil jalan akan ada barang yang pingin gue beli”.
Awalnya sih gue agak bingung pas si temen gue memberikan respon seperti itu. Satu hal yang gue pertanyakan dalam pikiran gue adalah apakah dia punya catatan tentang barang-barang yang akan dia beli. Akan tetapi ya sudahlah akhirnya gue biarkan saja tanpa gue tanya.
Sambil menuju toko yang menjual barang yang gue butuhkan, temen gue ini cukup sering mengajak berhenti karena dia ingin mampir ke toko-toko yang ada. Tidak jarang juga dia membeli barang-barang yang ada di toko tersebut. Dalam jangka waktu yang cukup singkat, ditangannya sudah cukup penuh dengan barang belanjaan miliknya, sedangkan gue belum membawa apa-apa karena sampai ke toko tujuan saja belum.
Singkat cerita, barang yang gue butuhkan sudah ditangan dan gue sama temen gue mau makan di food court mall. Di tempat makan, mendadak temen gue bilang kalo uangnya tinggal satu lembar dengan nominal Rp 50.000 dari sebelumnya total uang yang dia bawa adalah Rp 500.00 dan dia merasa cukup menyesal karena dia sudah merasa bahwa dirinya boros. Untuk menetralisir keadaan dia yang mendadak panik itu, gue betanya, “emang untuk apa barang-barang itu?” harapan gue adalah dia menjawab bahwa barang A untuk bla bla bla, barang B untuk bla bla bla, dan seterusnya sehingga dia nggak perlu nyesel-nyesel banget udah membeli barang itu karena semua barangnya bisa berguna. Namun ternyata jawaban yang gue dapat adalah jauh dari yang gue harapkan. Dia menjawab, “nggak untuk apa-apa dan nggak tau mau diapakan karena cuma pingin aja memiliki barang-barang itu dan sebenarnya nggak butuh dengan barang-barang itu”.
Sejenak gue pun terdiam dan nggak bisa menanggapi apa-apa. Hal yang gue bisa pelajari dari kejadian ini adalah gue akan mempertahankan salah satu kebiasaan gue yaitu membuat daftar barang belanjaan karena ternyata hal tersebut sangat penting sehingga barang belanjaan yang terbeli pun memang benar-benar dibutuhkan. Jangan sampai udah dateng ke tempat belanja tapi nggak tau mau beli apa dan akhirnya malah beli barang-barang yang kurang berguna karena barang yang dibeli tidak sesuai kebutuhan melainkan sekedar membeli barang-barang dari akibat adanya ‘laper mata’ saja. Tidak memiliki daftar barang belanjaan juga akan membuat kondisi keuangan kita tidak terkontrol dan akhirnya malah bikin diri sendiri menyesal.
Ada satu kata mutiara yang cocok sekali dengan cerita gue ini yaitu
“Sesuatu yang kita inginkan belum tentu apa yang kita butuhkan” (anonym)
Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang bijak dalam merencanakan sesuatu, memprioritaskan sesuatu, dan melaksanakan sesuatu agar kita bisa menjadi orang-orang yang bermanfaat dan beruntung.
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11137380
0 komentar:
Posting Komentar